Selasa, 01 November 2011

Elegi Dua Hati


Dikirim ke sayembara cerpen dalam acara antologi Simposium Internasional Bahasa Indonesia pada bulan April. Yang sampai sekarang, hasil antologinya belum juga aku terima. Tidak ada kejelasan.


Karin terbujur lemah di atas tempat tidurnya. Selang insuf menancap mesra di tangannya yang kini tampak kurus. Selang pernafasan melingkar di rahangnya untuk membantunya bernafas. Monitor detak jantung terletak di samping tempat tidurnya yang tersambung dengan sepasang alat deteksi jantung yang menempel erat di dadanya. Kini, dia tampak bukan Karin yang selama ini aku kenal. Entah ke mana Karin, sahabatku itu.
Sudah sebulan ini, aku tidak lagi melihat senyum, canda, dan tawanya. Aku hanya melihat sosoknya yang terbaring di tempat tidur dengan mata terpenjam. Wajahnya yang selalu dihiasi senyum dan tawanya yang riang, kini tampak pucat dan tirus. Karin, kau terlihat begitu menderita. Betapa kejamnya penyakit yang menggerogotimu.
“Tante,” sapaku kepada wanita berwajah lesu yang duduk di samping Karin. Dia adalah ibu Karin, wanita kuat yang dengan sabar dan tegar menanti anaknya terbangun dari mimpi panjangnya.
“Gana. Kamu datang lagi untuk menjenguk Karin?” tanyanya yang terkejut dengan kedatanganku.
“Iya, Tante. Apa ada perkembangan tentang kondisi Karin, Tante?” Aku memandang wajah Karin yang masih tertidur. Tante Margaret hanya menggelengkan kepala pelan. Kesedihan terpancar dari wajahnya yang sayup karena kurang istirahat.
“Duduklah, Gan. Ajaklah Karin bercakap-cakap. Tante keluar sebentar membeli makanan. Apa kamu sudah makan?”
“ Sudah, Tan. Tante makan saja biar saya yang menjaga Karin selama Tante keluar,” kataku.
Tante Margaret mengangguk, kemudian melihat Karin sejenak sebelum meninggalkan kamar. Aku menaruh pohon hias kaktus kecil di sudut jendela kamar. Tanaman yang sangat disukai Karin. Aku menatap keluar jendela dan melihat hamparan lukisan bumi di luar kamar ini. Langit mendung seakan menahan lara. Kubuka jendela sedikit dan aku biarkan angin menyapu wajahku.
Aku memandang Karin. Dia masih saja terpenjam, tidak mengacuhkanku. Aku mendekati dan duduk di sampingnya. Lekat, aku memandang wajahnya.  Wanita yang telah menjadi sahabatku sejak duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga universitas masih tetap tidak acuh dengan orang-orang yang datang menjenguknya.
“Tuhan, mengapa semua jadi begini? Dapatkah aku melihat senyumnya kembali?” tanyaku pada diri sendiri. Aku masih memandang wajahnya, berharap dia bangun dari tidur panjangnya.
Aku mengeluarkan sepasang amplop putih panjang dari saku jaketku. “Karin. Hari ini, surat pengumuman penerimaan beasiswa ke Paris telah sampai. Apa kamu tidak ingin tahu apa isi suratnya?” tanyaku pada Karin seakan-akan dia telah sadar dan sedang mendengarkanku. Aku tunjukkan surat itu. Surat berupa amplop putih panjang di tanganku. Tanganku yang lain memegang dan menggenggam jemari Karin. Berharap, ada respon darinya.  
“Akhirnya, setelah menunggu empat bulan. Aku lulus seleksi. Aku mendapatkan beasiswa itu, Karin. Aku tidak mengira kalau aku lulus seleksi. Semua berkat kamu. Apa kamu senang mendengar kabar ini?” tanyaku yang tidak mendapat tanggapan darinya. “Apa kamu tahu, Karin? Ada satu surat lagi yang dikirim bersama suratku. Surat itu untukmu. Kamu juga lulus seleksi. Apa kamu dengar aku?” lanjutku. Aku menghembuskan nafas karena masih tidak ada tanggapan dari Karin.
Aku mengalihkan pandangan ke langit mendung di luar. Memutar kembali ingatanku akan peristiwa yang telah terjadi. Peristiwa di mana canda, tawa dan senyum menghiasi hari-hari aku dengan Karin berubah menjadi kesedihan.
***
Aku dan Karin telah lama berteman sejak kelas dua SMP. Aku masih ingat saat pertama kali berjumpa dengannya. Karin selalu duduk di bagian belakang kelas. Dia tidak pernah berubah hingga jenjang kuliah. Walau begitu, prestasinya terdepan. Aku tidak ingin kalah darinya.
Hubungan kami sangat dekat hingga kami dijuluki amplop dan perangko. Kebersamaan di antara kami menimbulkan suatu perasaan padaku. Namun, Karin mencintai pria lain. Anggara adalah pria yang dicintai Karin sejak awal kuliah. Aku memilih memendam perasaanku. Aku tidak ingin melihat Karin menderita harus memilih antara aku atau Anggara. Aku juga tidak ingin persahabatan antara kami menjadi hancur hanya karena hal itu.
Namun, aku tidak melihat kebahagiaan di wajah Karin. Karin berubah menjadi pendiam dan pemurung. Tidak hanya saat itu, aku sering melihatnya dalam keadaan berantakan. Suatu hari, dia datang ke kosanku. Wajahnya sendu, seperti menahan beban yang berat.
 Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padanya. Aku berusaha menanyakan apa yang terjadi padanya, tetapi dia hanya menangis. Aku bertanya lagi saat Karin sudah berhenti menangis. Aku terkejut dengan apa yang dia katakan. Karin baru saja dipukuli oleh ayahnya. Sejak kapan, ayah Karin yang aku kenal baik, ramah, dan lembut berubah menjadi sesosok yang mengerikan. Sulit untuk percaya atas apa yang Karin katakan.
Tidak sengaja aku memegang bahunya. Sontak Karin mengaduh dan berusaha menjauhkan bahunya dariku. Aku curiga. Aku dekati dia, berusaha mencari jawaban atas kecurigaanku. Aku tarik tangannya dan menggulung lengan bajunya. Luka-luka memar menghiasi lengannya. Aku kaget bukan kepalang. Tidak hanya di lengannya, ia memberitahuku masih ada luka memar di bagian tubuhnya yang lain. Pikiranku masih dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang masih belum bisa aku temukan jawabannya.
Karin menceritakan lebih jelas atas apa yang telah menimpanya. Dia bercerita bahwa sejak masuk kuliah, orang tuanya sering bertengkar.  Ayahnya berubah sikap. Dia menjadi pemarah semenjak di-PHK, sedangkan ibu Karin naik jabatan menjadi direktur di perusahaan, tempat ibunya bekerja. Ayahnya tidak segan-segan memukul ibu Karin saat marah. Bahkan, Karin juga mengalami kekerasan tanpa sepengetahuan sang ibu. Terlebih lagi, setelah ibunya mengajukkan permohonan perceraian ke lembaga agama dan hukum.
Aku tidak mengira selama ini dia menanggung beban seberat itu. Karin merahasiakan hal ini dari siapa pun. Sikapnya yang tiba-tiba menjadi pemuruh merupakan cerminan dari luka di hatinya atas pertikaian orang tuanya. Luka-luka itu juga merupakan saksi bisu dari kekerasan yang diterimanya.
 Ke mana saja aku selama ini. Saat sahabat sekaligus orang yang aku cintai menderita, aku tidak mengetahuinya. Aku menjaga jarak darinya sejak dia berpacaran dengan Anggara yang saat ini tidak tahu di mana keberadaannya. Aku dengar gosip yang beredar di kampus bahwa Anggara dan Karin telah putus lantaran Anggara selingkuh dengan mahasiswi kampus lain. Karin menceritakan semua segala beban yang selama ini dia pendam kepadaku.
Esok harinya, aku tidak menemukan Karin. Ini membingungkanku. Semalam, Karin tetap bersikeras untuk pulang. Aku mengantar Karin sampai ke rumahnya. Rumahnya sunyi. Aku enggan meninggalkan tempat itu, tetapi Karin menyakinkanku bahwa ia akan baik-baik saja. Kini, ia tidak tampak di kampus. Aku sudah mencarinya ke sudut-sudut kampus, tetapi nihil. Aku putuskan untuk ke rumahnya, berharap ia ada di sana.
Kesunyian dan kehampaan melingkupi rumah Karin. Rumah ini serasa berbeda saat aku kunjungi sewaktu Sekolah Menengah Atas (SMA). Aku mengetuk pintu, tidak ada tanggapan. Aku berusaha melihat ke dalam, kosong. Aku ketuk kembali, tetapi tetap sunyi. Kupegang gagang pintu, berharap pintu tidak dikunci. Ternyata benar, pintu tidak dikunci. Aku melangkah masuk dengan hati-hati. Kulihat ruang tamu yang lenggang. Aku memanggil-manggil Karin sambil tetapi melangkah masuk ke ruang tengah.
Aku melihat sosok manusia terbujur di dekat pintu dengan pecahan kaca berhamburan di sekitar sosok tersebut. Aku mendekati, berusaha mengetahui sosok itu. Aku tersontak. Sosok itu tidak lain adalah Karin. Kepalanya berdarah. Aku berusaha membangunkannya, tapi tidak ada sahutan. Aku angkat tubuhnya dengan bergegas untuk di bawa ke rumah sakit. Tiba-tiba, aku dikagetkan dengan jeritan seorang wanita yang bertemu dengan kami di depan pagar rumah. Tante Margaret, ibu Karin, mematung di depan kami. Dia terpaku memandang Karin yang ada di dalam gendonganku. Aku menyadarkannya untuk bergegas membawa Karin ke rumah sakit. Seperti dihentakan ke bumi setelah terlempar ke langit, bersamaku dia membawa Karin ke rumah sakit.
Dokter membawa Karin ke ruang UGD. Aku dan Tante menunggu di luar ruangan UGD. Kami terdiam, tapi aku tahu betapa gelisahnya Tante Margaret. Aku lihat dia meremas-remas jemarinya sambil menunggu kabar dari dokter. Cukup lama kami terdiam hingga Tante memulai cerita. Tante bercerita tidak jauh berbeda dengan apa yang telah Karin ceritakan padaku.
“Tadi malam, kami bertengkar hebat. Karin berusaha melerai kami. Tapi, Om sangat marah, ia sudah kalap. Aku menyelematkan diri dengan lari dari rumah saat ada kesempatan. Aku tidak menyangka kalau ternyata Karin menjadi lampiasan kemarahan dan amukan ayahnya. Aku merasa bersalah. Andai aku tidak pergi dari rumah, Karin tidak akan seperti ini. Biar aku saja yang mengalami ini. Biar aku saja yang mati,” jelasnya sambil terisak, tak hentinya menangis.
***
Aku menghembuskan nafas. Hujan turun membasahi bumi dan kaca jendela kamar inap Karin. Hujan ini melambangkan luka dan duka di hatiku. Sudah satu bulan peristiwa itu berlalu. Karin belum juga sadar dari koma. Aku tidak tahu kabar pasti tentang ayah Karin. Tante Margaret bilang padaku bahwa dia telah melaporkan apa yang menimpa Karin kepada polisi.
 Entah kapan aku dapat melihat Karin menatapku sambil tersenyum atau tertawa lagi. Aku terus menanti saat itu terjadi, tapi wajah pucat dengan mata terpenjam yang selalu aku temui. Aku merindukanmu, Karin. Aku tidak bisa tanpa melihatmu. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri. Cukup saat aku meninggalkanmu, aku melihatmu dalam keadaan yang mengerikan. Nyawamu hampir melayang. Aku hampir kehilanganmu walau kini aku kehilangan senyumanmu. Beasiswa itu, aku tidak tahu harus bagaimana. Karin, aku mohon bangunlah.
Jari Karin bergerak. Aku yakin sesaat aku merasakan ada gerakan di jarinya. Aku menatap jarinya, menyakinkan diri akan perasaanku. Jari Karin bergerak perlahan diikuti dengan kelopak matanya yang membuka perlahan. Aku menyaksikan kebangkitan Karin. Dengan perlahan, dia membuka matanya dan menatapku. Karin sadar dari tidur panjangnya.
***
Hamparan rumput yang menutupi tanah sekitar area pemakaman bergoyang perlahan dipermainkan angin yang bertiup pelan. Sunyi, tidak ada satu pun di antara kami yang berbicara. Semua menangis dalam diam mengiringi kepergian Karin begitupula angin ini. Angin sepoi-sepoi kesukaannya bertiup perlahan membelai setiap orang yang datang ke pemakamannya. Air mataku mengalir perlahan di pipiku. Aku tidak sanggup menahan alirannya. Rasa sedih menyelimuti hatiku. Penantian panjang. Usai sudah. Mungkin, ini yang terbaik untuk Karin dan mungkin untukku juga.
Karin sempat sadar dari koma. Dia membukakan matanya, memandangku dalam keheningan yang cukup lama. Lalu, dia tersenyum padaku. Gana. Hanya itu yang dia ucapkan sambil tersenyum kembali kepadaku. Manis sekali, senyum yang aku rindukan itu kini dapat aku lihat lagi. Namun, Karin memenjamkan matanya kembali. Monitor deteksi detak jantung berbunyi melengking. Garis kurva berganti dengan garis lurus menghiasi monitor. Aku mematung melihat semua itu. Senyumku telah hilang berganti dengan aura cemas. Bergegas, aku memanggil dokter. Tidak lama, dokter datang bersama Tante Margaret yang terlihat panik. Dokter menyuruh kami menunggu di luar. Aku menenangkan Tante Margaret dan berusaha bersikap tenang walau hatiku sangat gundah. Dokter keluar dari kamar Karin. Wajahnya sendu. Dokter mengatakan pada kami bahwa Karin tidak dapat diselamatkan. Dia telah pergi untuk selamanya.
Sulit untukku menerima kenyataan pahit ini. Sahabatku yang sangat kucintai telah pergi untuk selamanya. Surat penerimaan beasiswa untuknya, aku simpan sebagai kenangan atas dirinya. Aku tidak akan melupakanmu, Karin. Aku akan meneruskan cita-cita yang pernah kita rangkai. Aku akan wujudkan agar kamu dapat tersenyum melihatku mewujudkan cita-cita kita dari atas langit. Sahabatku tersayang, Karin. Kamu akan selalu hidup dalam hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar